Belajar dari santo Thomás Tzuki : Menolak Kekuasaan yang Menindas Rakyat.

Fransiskus Sehadun

       
   Salah satu kisah hidup dari seorang martir, namanya adalah Thomas Tzuki, ia lahir di omura negeri jepang sekitar tahun 1580 dan ia Adalah seorang Imam Katolik dari serikat Yesus. Tentu motivasinya menjadi Imam katolik saat mendengar kesaksian hidup para misionaris di jepang pada waktu itu. Dan dia juga dikenal sebagai orang yang cerdas dan banyak orang terpukau saat  ia berkotbah. Perkembangan umat katolik pada waktu itu semakin meningkat dan bagi pemerintah jepang ini adalah ancaman bagi mereka. Kemudian umat katolik mendapatkan kekerasan bahkan intimitasi dari pemerintah jepang.
     Tindakan kekerasan tersebut tentunya mengugah hati para martir seperti santo Thomas dan pada akhirnya mereka melakukan perlawanan, bahkan Santo Thomas sendiri menjadi pemimpin untuk melawan ketidakadilan tersebut. sehingga pada akhirnya ia ditanggap bersama imam imam yang lain sehingga pada tanggal 6 september 1627 kemudian disiksa dan ditembak mati. dan sebelum ia di tembak ia memberikan wejangan iman mengenai Yesus Kristus dan banyak orang mengucurkan air mata saat mendengerkan kotbatnya, selain itu mereka juga menyaksikan Bagaimana Santo Tomas meninggal dengan Ajaib dimana didadanya memancarkan api yang bernyala – nyala dan bersinar keangkasa
     Kisah santo Thomás Tzuki bukan sekedar cerita rohani yang disimpan dalam buku sejarah Gereja. Ia adalah potret bagaimana seorang manusia sederhana berani berdiri tegak di hadapan kekuasaan yang menindas. Ia tidak memiliki senjata, tidak punya kekuasaan, tetapi ia memiliki sesuatu yang lebih kuat daripada keduanya: keteguhan hati untuk tidak tunduk pada ketidakadilan.
    Jika kita mengangkat cermin sejarah ini ke masa kini, kita akan mendapati kejadian yang serupa di tanah air kita, Indonesia. Bedanya, salib di dijepang telah berganti rupa menjadi berbagai bentuk penindasan struktural. Yang menyalib rakyat kini bukan lagi penguasa Jepang abad ke-16, tetapi aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi, namun kerap bertindak semena-mena.Berulang kali kita menyaksikan aparat bersikap brutal kepada kepada masyarakat baik dijalan atau pun mereka berani membela kepada orang suruhan mereka, mahasiswa yang melakukan demostrasi mendapat tindakan kekerasan dan intimidasi bahkan pulang tanpa keadaan normal bahkan merenggut nyawa, selain itu penegakan hukum yang lamban jika masyarakat membutuhkan bantuan bahkan petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan tanahnya ditindas, dan korban kekerasan aparat jarang sekali mendapat keadilan. Lebih dari itu, hukum yang seharusnya menjadi panglima justru kerap dipelintir untuk mengabdi kepada kepentingan penguasa.
    Situasi ini mengingatkan kita pada kondisi Jepang di masa Thomás Tzuki. Kekuasaan yang takut kehilangan kendali bersekutu dengan aparat untuk membungkam suara hati nurani. pada masa itu, siapa pun yang berani menegakkan imannya dianggap musuh negara. Pada masa kini, siapa pun yang berani mengkritik pemerintah sering kali dianggap pengganggu stabilitas. Dua konteks yang berbeda, tetapi esensi penindasannya sama: kekuasaan yang lebih memilih melanggengkan kepentingan daripada mendengarkan suara kebenaran. Namun, justru dalam konteks inilah pesan moral dari Tomás Tzuki menjadi relevan. Ia mengajarkan bahwa ada hal-hal yang tidak boleh ditukar dengan keamanan palsu: kebenaran, keadilan, dan suara hati nurani. Ia memilih jalan penderitaan daripada jalan kompromi. Ia menunjukkan bahwa kesetiaan pada kebenaran lebih berharga daripada hidup yang nyaman tetapi penuh kebohongan.
Bangsa Indonesia membutuhkan teladan semacam ini. di tengah aparat yang lebih sibuk melayani penguasa daripada rakyat, kita membutuhkan orang-orang yang berani bersuara, meski tahu risikonya besar. Mahasiswa yang kritis, akademisi yang menulis kebenaran, aktivis yang membela kaum tertindas, jurnalis yang tidak tergoda suap, mereka semua adalah Thomas Tzuki masa kini. Benar bahwa harga yang harus dibayar tidak ringan. Sejarah Indonesia mencatat banyak orang yang dikorbankan karena melawan ketidakadilan: aktivis HAM yang hilang, mahasiswa reformasi yang gugur, petani yang dipenjara karena membela tanahnya. Tetapi seperti yang ditunjukkan Santo Thomas penderitaan bukanlah kekalahan. Justru dari darah para martir lahir benih-benih kebebasan. Di sisi lain, kisah Thomás juga menjadi teguran keras bagi aparat penegak hukum Indonesia. Mereka seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan pelayan kekuasaan. Mereka seharusnya berdiri di sisi yang benar, bukan berpaling dari jeritan rakyat kecil. Jika mereka terus membiarkan diri diperalat, maka sejarah hanya akan mencatat mereka sebagai bagian dari mesin penindasan, bukan sebagai penjaga keadilan.
Indonesia yang kita cintai tidak akan berubah hanya dengan janji politik atau retorika pembangunan. Perubahan sejati lahir dari keberanian untuk menolak kebungkaman, dari kesediaan untuk berdiri bersama yang lemah, dan dari tekad untuk memihak kebenaran, meskipun kebenaran itu pahit. Itulah yang diajarkan Thomas Tzuki bahwa kesetiaan pada iman dan nurani adalah kekuatan sejati yang tidak bisa dipatahkan oleh pedang, tombak, atau salib.
Hari ini, ketika rakyat kecil merasa kerap tak berdaya di hadapan aparat, kita dipanggil untuk menghidupi semangat yang sama. Gereja, komunitas iman, masyarakat sipil, dan akademisi harus berani bersuara lantang. Kita tidak boleh tunduk pada ketakutan, sebab ketakutan hanyalah senjata para penindas untuk membungkam kebenaran.
Maka, mengenang SantoT homas Tzuki bukan sekadar mengenang martir di Jepang, melainkan menghidupkan kembali keberanian untuk melawan tirani di tanah air kita. Ia mengajarkan bahwa meski kekuasaan bisa menindas tubuh, ia tidak bisa membungkam nurani. Dan selama ada orang yang setia pada nurani, kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
Penulis : Fransiskus Sehadun

Belajar dari santo Thomas Tzuki : Menolak Kekuasaan yang Menindas Rakyat.