Identitas Kolektif dan Validasi di Media Sosial dari Kacamata Sosiologi

OPINI

Arin ( Mahasiswa Sosiologi Undana)

7/26/20253 min read

Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi di media sosial, identitas manusia tak lagi bersifat pribadi semata. Ia menjadi sesuatu yang dibentuk, dipertontonkan, dan divalidasi oleh lingkungan sosial digital. Melalui unggahan, komentar, dan tanggapan dari orang lain, kita bukan hanya menyampaikan siapa diri kita tetapi juga secara tidak langsung menegosiasikan tempat kita dalam komunitas yang lebih besar.
Melihat fenomena ini dari kacamata sosiologi, kita jadi memahami bahwa identitas bukanlah sesuatu yang muncul secara alamiah, melainkan hasil dari proses sosial yang kompleks sebagaimana proses yang hari ini berlangsung sangat intens melalui media sosial. Kacamata ini membantu kita menggali lebih dalam tentang bagaimana identitas terbentuk, dipengaruhi, dan dikonstruksi melalui interaksi sehari-hari di ruang maya.
Di dunia yang makin terhubung secara digital, membicarakan soal identitas rasanya semakin kompleks. Kita tumbuh di era di mana diri kita bukan hanya soal siapa kita secara personal, tapi juga bagaimana kita dipahami, dilihat, dan diterima oleh orang lain terutama oleh publik yang kita temui di media sosial. Identitas tidak lagi sekadar urusan privat, melainkan sesuatu yang terus-menerus dinegosiasikan di ruang publik virtual. Jika dulu, identitas lebih banyak dibentuk oleh pengalaman langsung: keluarga, sekolah, lingkungan sekitar. Tapi kini, media sosial membuka ruang baru di mana siapa pun bisa menciptakan "versi diri" yang ingin mereka tampilkan. Di satu sisi, ini membebaskan kita bisa mengekspresikan sisi-sisi diri yang mungkin tak mendapat ruang di dunia nyata. Namun di sisi lain, ini juga membingungkan. Karena dalam dunia maya yang bising dan ramai, validasi dari luar sering kali menjadi penanda apakah keberadaan kita cukup layak untuk diakui. Apakah kita cukup menarik? Apakah postingan kita cukup “disukai”? Apakah opini kita cukup reliable? untuk dibagikan ulang? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, meski kadang tak diucapkan, sering hadir dalam benak kita saat berselancar di media sosial.
Dari kacamata sosiologi, identitas dilihat bukan sebagai sesuatu yang kita miliki sejak lahir, melainkan sebagai sesuatu yang diciptakan dalam relasi sosial. Identitas tidak jatuh dari langit, dan tidak sepenuhnya berasal dari dalam diri seseorang. Kita adalah hasil dari interaksi, simbol, dan pengakuan. George Herbert Mead seorang tokoh penting dalam tradisi interaksionisme simbolik mengatakan bahwa dir terbentuk melalui proses menjadi objek bagi diri kita sendiri. artinya, kita melihat diri kita sebagaimana orang lain melihat kita, dan membentuk identitas berdasarkan refleksi itu. Maka, ketika hari ini kita menulis, memotret diri, membuat video, lalu mengunggahnya ke media sosial, itu bukan semata-mata ekspresi diri. Itu adalah bagian dari proses membentuk dan membangun identitas. Proses yang terus berlangsung, diperbarui, ditambal, bahkan kadang dipalsukan demi mendapatkan penerimaan dan pengakuan sosial.
Namun di balik semua itu, ada keinginan yang begitu manusiawi: kita ingin dilihat, diakui, dan kadang ingin merasa bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri dan Inilah akar dari identitas kolektif, Ketika seseorang merasa dekat dengan komunitas tertentu misalnya kelompok pecinta buku, aktivis lingkungan, yang kemudian muncul rasa memiliki, Aku tidak sendiri Aku bagian dari mereka dan mereka melihat aku.
Ruang validasi pun tumbuh di situ. Kita memposting keresahan, lalu dibalas dengan “aku juga ngerasa begitu,” dan dari sana muncul bentuk pelukan virtual yang menyembuhkan. Tiba-tiba, rasa terasing berubah menjadi rasa terhubung tiba-tiba kita merasa tidak sendirian dalam kesedihan, amarah, atau kegelisahan. Namun, validasi juga bisa menjadi jebakan terutama ketika pengakuan menjadi syarat keberadaan. Kita mulai mengatur versi diri yang ingin ditampilkan. Kita mulai berpikir, “Kalau aku jujur, apakah mereka tetap suka?” Maka, banyak orang mulai tampil bukan seperti dirinya, melainkan seperti yang diharapkan oleh kolektif. Dan perlahan-lahan, identitas diri bisa terseret menjadi “identitas publik” satu versi yang dibuat agar sesuai dengan selera algoritma dan ekspektasi komunitas. Kita kehilangan spontanitas. Kita kehilangan keaslian. Kita menjadi narator dari kisah yang ingin disukai, bukan kisah yang benar-benar kita jalani.
Di sinilah pentingnya membangun ruang validasi yang sehat, ruang yang memungkinkan kita mengekspresikan identitas tanpa harus mengorbankan keunikan personal. Ruang seperti ini tidak muncul tiba-tiba. Ia perlu dibangun dengan kesadaran, dengan nilai-nilai seperti empati, keberagaman, dan kesediaan untuk mendengarkan yang berbeda. Ruang yang tidak menuntut kita tampil sempurna. Ruang yang tidak memaksa kita punya narasi yang viral. Ruang di mana cukup dengan menjadi diri sendiri, kita sudah diterima.
Sosiologi mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk sosial, tapi bukan berarti harus selalu larut dalam kolektif. Identitas kolektif itu penting tapi hanya jika ia memberi ruang, bukan menutup ruang. Validasi itu penting tapi hanya jika ia membangun, bukan menekan. Media sosial, dengan segala hiruk-pikuknya, seharusnya bisa menjadi alat untuk memperluas empati, bukan sekadar panggung untuk pertunjukan diri. Karena pada akhirnya, identitas bukanlah sesuatu yang statis. Ia cair, terbentuk, dibentuk ulang dan seharusnya memberi kita ruang untuk tumbuh, bukan ruang untuk menyusut.

Penulis

Arin  (Mahasiswi Sosiologi Undana )

Identitas Kolektif dan Validasi di Media Sosial dari Kacamata Sosiologi