Menemukan Tuhan dalam Segala Hal: Refleksi atas Hidup St. Ignatius dari Loyola

Wihelmina Mun

 

         

           Menemukan Tuhan dalam Segala Hal

  (Refleksi atas Hidup St. Ignatius dari Loyola)

Ketika kita membayangkan seorang pendiri ordo religius besar, mungkin yang muncul di benak kita adalah seseorang yang sejak kecil sudah suci, tenang, dan jauh dari hiruk pikuk dunia. Tapi St. Ignatius dari Loyola justru datang dari jalan yang sebaliknya: keras, penuh ambisi duniawi, dan luka yang justru menjadi pintu rahmat. St Ignasius lahir sebagai bangsawan Basque Spanyol, Ignatius tumbuh dalam budaya kehormatan dan pedang. Ia bermimpi menjadi seorang ksatria yang disanjung dan hidup dalam kejayaan. Namun Tuhan, sebagaimana sering terjadi, menggunakan jalan yang tidak biasa untuk mengubah arah hidup manusia. Pada tahun 1521, Ignatius terluka parah dalam perang. Sebuah meriam menghancurkan kakinya dan menghentikan karier militer yang ia impikan. Saat terbaring dalam pemulihan, hidupnya mulai berubah—bukan lewat kotbah keras atau mukjizat spektakuler, tetapi lewat membaca buku-buku rohani yang tersedia di rumah: Riwayat Kristus dan Kehidupan Para Kudus. Apa yang terjadi setelah itu adalah transisi spiritual yang mendalam. Ignatius mulai bertanya pada dirinya sendiri: “Mengapa aku tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh Santo Fransiskus dan Santo Dominikus?” Pertanyaan sederhana itu menjadi titik tolak dari perjalanan spiritual yang akan mempengaruhi dunia hingga kini.

Dari Luka Menuju Latihan Rohani

Di Manresa, Ignatius belajar bahwa jalan menuju Tuhan tidak selalu terang. Ia mengalami kekeringan rohani, krisis batin, bahkan godaan untuk putus asa. Namun justru dalam kerapuhan itulah ia menemukan bahwa membedakan gerakan jiwa, membedakan mana yang dari Tuhan dan mana yang bukan adalah kunci dalam kehidupan spiritual. Dari pengalaman pribadinya lahirlah Latihan Rohani (Spiritual Exercises) yang kini digunakan oleh jutaan orang untuk mendalami panggilan hidup mereka. Sebagai seorang awam yang kemudian menjadi imam, Ignatius menunjukkan bahwa iman bukan soal kesempurnaan masa lalu, melainkan kesetiaan pada panggilan hari ini. Ia bukan malaikat yang turun dari surga, melainkan manusia biasa yang terbakar oleh cinta akan Tuhan.

Mendirikan Serikay Yesus (Jesuit)

Ignatius mendirikan Serikat Yesus (Jesuit) bersama enam sahabatnya. Mereka mengikrarkan hidup demi Demi Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar. Moto ini bukan sekadar slogan spiritual, melainkan cara pandang hidup. Dalam segala hal belajar, mengajar, berkarya, melayani ada satu tujuan: Tuhan dimuliakan. Warisan Ignatius hari ini tidak hanya hidup dalam institusi pendidikan Jesuit atau karya misi yang luas. Yang lebih dalam adalah warisan spiritualitas yang mengajarkan bahwa Tuhan hadir dalam segala hal, dan kita dipanggil untuk menemukan-Nya dalam dinamika hidup sehari-hari: dalam keluarga, pekerjaan, pilihan-pilihan sulit, bahkan dalam luka dan kegagalan kita.

Mengikuti Kristus di Dunia Nyata

Dalam dunia yang makin gaduh, penuh tuntutan, dan kadang membingungkan secara moral, spiritualitas Ignasian menjadi sangat relevan. Ia tidak mengajak kita lari dari dunia, tetapi justru untuk masuk lebih dalam dan membawa terang Injil ke dalam dunia nyata. Ia mengajak kita untuk jujur dalam melihat gerak hati, untuk bertanya terus-menerus: Apakah ini kehendak Tuhan? Atau keinginan diriku sendiri? Refleksi ini bukan hanya untuk rohaniwan, tapi untuk siapa pun yang ingin hidup lebih sadar akan kehadiran Tuhan. Dalam dunia kerja, pendidikan, keluarga, bahkan politik, Ignatius menawarkan jalan untuk tetap berakar pada nilai-nilai Injil.

Dari Loyola ke Hati Kita

Ignatius tidak pernah membayangkan bahwa sebuah luka di medan perang akan mengubah seluruh arah hidupnya. Tetapi begitulah cara Tuhan bekerja: menggunakan puing untuk membangun sesuatu yang lebih indah. Hari ini, ketika kita mengalami luka, kegagalan, atau kebingungan, mungkin pertanyaannya bukan “Mengapa ini terjadi padaku?” melainkan, seperti Ignatius: “Tuhan, bagaimana aku bisa melayani-Mu melalui ini?” Dan dalam pertanyaan itulah, kita mungkin sedang mengambil langkah pertama dalam mengikuti Kristus, seperti Ignatius — menuju kemuliaan Tuhan yang lebih besar.