Setia seperti Santo Aurelius dan Santa Natalia Menjadi Katolik Sejati di Tengah Mayoritas

KISAH MUJISAT KATOLIK

Fransiskus Sehadun

7/27/20253 min read

Pada setiap tanggal 27 Juli setiap tahun kita selalu mengenang  kisah santo Aurelius dan santa Natalia yang berani mengakui iman ditengah mayoritas, mereka merupakan suami istri dan hidup pada abad ke-9 di kordoba spanyol dan mereka berdarah campuran dimana mereka dari masing masing mereka berlatar belakang kristen dan Islam. Sejak kecil, mereka hidup dalam ketegangan identitas, namun benih iman Kristiani yang diwariskan tetap tumbuh dalam hatinya sementara saat itu negara yang mereka tempati berada di bawah pemerintahan Islam.
Pada masa itu sistem yang menetapkan hukum dan norma berdasarkan ajaran Islam meskipun agama lain juga diperbolehkan tetapi dalam perlakuan mereka dianggap sebagai warga kelas kedua. Selain itu Perubahan agama dari Islam ke Kristen dianggap sebagai pelanggaran serius yang dapat berujung pada hukuman mati, sehingga pada akhirnya mereka dihadapkan pada dua pilihan yakni mempertahankan agama mereka tetapi konsekwensinya hukuman mati, atau mereka kembali keagama islam. tentunya bagi Aurelius dan Natalia serta rekan- rekannya tidak mau mengorbankan iman mereka dan mereka tetap setia pada ajaran Yesus, sehingga pada akhirnya mereka ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman mati dengan pancung pada 27 Juli 852. Mereka wafat dalam damai, dengan kepala terangkat kepada Kristus yang mereka cintai melebihi kehidupan duniawi.
Kisah ini bukanlah seruan untuk menentang pihak tertentu, melainkan kesaksian tentang keberanian memilih iman dalam kesunyian dan kesetiaan. Aurelius dan Natalia serta teman-temannya tidak melawan sistem dengan kebencian, tetapi dengan kesetiaan. Mereka tidak menyerang siapa pun, tetapi tetap mengakui Kristus sebagai Tuhan mereka meskipun tahu konsekuensinya berat.
Lalu, apa makna kisah ini bagi kita yang hidup di Indonesia masa kini? Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keberagaman dan menjamin kebebasan beragama dalam konstitusinya. Kita hidup dalam masyarakat majemuk, di mana umat Katolik menjadi bagian kecil dari populasi. Kita tidak mengalami ancaman fisik seperti yang dihadapi Aurelius dan Natalia serta rekan rekannya,  namun tantangan kita hadir dalam bentuk yang berbeda: pengikisan iman secara perlahan karena tekanan sosial, arus relativisme, dan rasa takut berbeda. Seperti di sekolah, kampus, tempat kerja, atau ruang publik, umat Katolik kadang merasa perlu untuk menyesuaikan diri agar tidak tampak berbeda. Ada yang merasa sungkan membuat tanda salib, atau enggan berkata bahwa mereka pergi misa. Ada pula yang memilih diam saat teman lain membahas iman, karena takut dianggap aneh atau eksklusif. Tanpa sadar, kita mulai menyembunyikan identitas sebagai murid Kristus.
Dalam situasi ini, kesaksian Santo Aurelius dan santa Natalia menjadi sangat relevan. mereka menunjukkan bahwa kesetiaan pada iman tidak harus selalu dalam bentuk konfrontatif. mereka tidak mencari perhatian atau ketenaran, tetapi hidup dalam keheningan yang teguh. mereka mengajarkan bahwa keberanian terbesar adalah tetap menjadi diri sendiri di tengah tekanan untuk berubah bahka kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam, Bahwa menjadi umat Katolik berarti hidup dengan nilai-nilai Kristiani: jujur, penuh kasih, rendah hati, dan penuh pengampunan. Ketika kita menghidupi iman dengan tulus, kita menjadi saksi yang hidup di tengah masyarakat yang plural. mereka tidak pernah membenci para penguasa yang menghukumnya. Ia tidak menjelekkan mereka. Tapi ia tahu, ketika dihadapkan pada pilihan antara menyenangkan dunia dan setia kepada Tuhan, ia harus memilih Tuhan. Dan itu adalah teladan besar bagi kita hari ini.
Kisah ini juga mengingatkan kita untuk memperkuat keluarga Katolik. Aurelius dan Natalia tidak berjalan sendiri. Mereka saling menopang dalam doa dan keyakinan. Di tengah dunia yang semakin sekuler dan materialistik, keluarga harus menjadi tempat pertama di mana iman dipelihara. Anak-anak perlu belajar sejak kecil bahwa menjadi Katolik bukan sekadar label, tapi jalan hidup yang penuh makna.
Di lingkungan umat, komunitas basis gerejawi, dan paroki, kita bisa menciptakan ruang di mana umat Katolik saling menguatkan. Kesaksian iman tidak harus spektakuler. Terkadang, menjadi umat Katolik yang datang ke misa dengan setia, mengampuni yang menyakiti, atau tetap jujur di tempat kerja, adalah bentuk martir zaman modern. Martir tanpa darah, tapi tidak kurang nilainya. Selain itu tantangan zaman ini bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam: godaan untuk hidup biasa-biasa saja, untuk tidak berbeda, untuk menyamarkan iman agar diterima semua orang. Tapi Yesus tidak pernah memanggil kita untuk menjadi netral. Ia berkata, "Kamu adalah terang dunia Janganlah terang itu diletakkan di bawah gantang."
Kesaksian Santo Aurelius dan Santa Natalia bukan nostalgia masa lalu, tetapi cermin dan panggilan untuk kita hari ini. Kita boleh minoritas, tetapi kita tidak boleh kehilangan semangat. Kita mungkin sunyi, tetapi kita tidak boleh kehilangan suara hati. Dunia tidak butuh umat yang banyak, tapi umat yang setia. Sebagaimana santo Aurelius dan Santa Natalia dan para martir lainnya, kita tidak dipanggil untuk membenci siapa pun, tapi untuk mencintai Yesus Kristus lebih dari segalanya. Dalam cinta itu, kita juga mencintai sesama kita yang berbeda keyakinan, tanpa harus mengorbankan iman kita sendiri.
Di tengah masyarakat yang plural, kita harus belajar hidup dalam damai, dalam hormat kepada yang berbeda, sambil tetap kuat dalam identitas sebagai murid Kristus. Itulah kekuatan orang Katolik: bukan dalam jumlah, tapi dalam kesetiaan. Dan pada akhirnya, ketika dunia bertanya, “Siapakah kamu?”, semoga kita menjawab dengan iman yang teguh yakni “Aku pengikut Kristus. Aku mencintai semua orang. Tapi aku tidak akan meninggalkan Tuhan-ku, apa pun risikonya.”

Penulis 
Fransiskus Sehadun