Tangan yang Selalu Memberi, Tak Pernah Kosong

KISAH MUJISAT KATOLIK

Fransiskus Sehadun

7/22/20253 min read

Tangan yang Selalu Memberi, 

Tak Pernah Kosong”

Cerita ini bukan tentang saya yang ingin menunjukkan bahwa saya telah banyak berbuat baik. Bukan pula ingin mencari pujian, pengakuan, atau merasa lebih dari siapa pun. Saya hanya ingin membagikan sebuah perjalanan, di mana saya belajar bahwa kebaikan, sekecil apa pun, tidak pernah sia-sia. Bahwa memberi, entah dalam bentuk materi, tenaga, waktu, atau perhatian, selalu memiliki arti yang dalam bukan hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri. Dalam hidup yang penuh perjuangan ini, saya menemukan bahwa ketika kita bersedia berbagi, bahkan dari kekurangan kita, Tuhan tidak pernah menutup mata. Justru di saat itulah, kita melihat keajaiban-keajaiban kecil yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Maka kisah ini adalah tentang itu tentang makna memberi dalam perjalanan panjang seorang anak manusia yang terus belajar percaya, berharap, dan berbagi di tengah keterbatasan.
Perjalanan saya dimulai saat kuliah S1 di Surabaya. Untuk bisa membiayai studi, saya bekerja sebagai sopir taksi online Blubet. Setiap hari saya mengantar penumpang dari berbagai latar belakang. Ada yang terburu-buru, ada yang bercerita, ada yang diam tanpa suara. Tapi ada pula yang diamnya menyentuh hati orang-orang yang hidup dalam keterbatasan, yang wajah dan gerak tubuhnya mengisyaratkan bahwa mereka sedang bergulat dengan kerasnya hidup. Suatu hari, saya melihat seorang penyandang disabilitas duduk diam di pinggir jalan. Ia tidak meminta-minta, namun dari caranya duduk dan menatap kosong ke depan, saya tahu bahwa hidup tidak mudah baginya. Saya menghentikan taksi sejenak, mengambil selembar uang, lalu memberikannya dengan tangan tertutup bukan untuk pamer, tetapi karena saya ingin menjaga martabatnya. Setelah itu saya melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, saya mendapatkan penumpang dan memberi saya tips yang jumlahnya lebih dari sepuluh kali lipat bahkan dari uang yang baru saja saya berikan di situlah saya tidak bisa berkata-kata. Dalam hati, saya hanya bisa berkata, “Tuhan, Engkau memang selalu melihat.” Momen-momen seperti itu membuat saya percaya bahwa memberi, meskipun kecil, tidak pernah hilang begitu saja. Ia kembali kadang bukan dari orang yang sama, tapi dari arah yang tidak kita duga. Hukum kehidupan itu nyata: siapa menabur, ia menuai.
Setelah lulus S1, saya kembali ke Kalimantan. Saya sempat bekerja di sebuah perusahaan, tetapi semangat untuk kuliah S2 terus menyala. Demi menabung untuk biaya studi, saya kembali bekerja sebagai ojek online di Berau, Kalimantan Timur. Di sana, saya kembali menjumpai orang-orang yang sedang berjuang. Meskipun penghasilan saya pas-pasan, saya tetap berusaha memberi kepada mereka yang lebih membutuhkan. Terkadang hanya seribu dua ribu rupiah, atau sekadar kata-kata penguat. Tapi entah bagaimana, selalu saja ada orang yang tiba-tiba memberi lebih kepada saya. Ada yang memberi uang, makanan, bahkan doa. Saya tidak pernah tahu siapa mereka, dan mungkin mereka pun tak tahu bahwa mereka sedang menjawab doa saya. Tapi satu yang saya tahu, Tuhan tidak pernah lalai menghitung setiap niat baik, sekecil apa pun itu.
Tuhan kemudian membuka jalan. Saya diterima kuliah S2 di Universitas Negeri Malang. Saya pindah ke kota itu, membawa semangat baru, dan tentu saja kembali bekerja sebagai ojek online untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saya belajar membagi waktu antara kuliah, pekerjaan, dan tugas-tugas lainnya. Di Malang, saya menemukan pola hidup baru. Setiap kali hujan deras turun, saya justru bersiap-siap untuk keluar. Saya tahu bahwa saat itu banyak driver yang berhenti beroperasi, sementara permintaan meningkat. Maka dengan jas hujan dan semangat, saya mengantar makanan dan penumpang di tengah hujan hingga larut malam, bahkan sampai jam satu dini hari. Puji Tuhan, selama itu tidak pernah sekalipun saya mengalami kendala besar tidak motor mogok, tidak kecelakaan. Semua berjalan lancar dan aman, seolah Tuhan sendiri yang menjaga setiap perjalanan saya. Namun ketika cuaca cerah dan tidak banyak permintaan, saya memilih untuk tetap tinggal di kos. Tapi bukan untuk bermalas-malasan. Saya menggunakan waktu itu untuk berjualan jus secara online, memanfaatkan aplikasi seperti ShopeeFood, Gojek, dan GrabFood. Sambil menjalankan usaha kecil itu, saya juga menyusun tesis saya. Waktu sering terasa mepet, tapi saya percaya selama saya tetap berusaha, Tuhan akan memampukan. Dan benar, satu demi satu tugas selesai, walaupun dengan peluh dan malam-malam tanpa tidur.
Di sela-sela itu semua, saya juga masih menyempatkan diri membimbing adik-adik dari kampung halaman saya di Manggarai. Kebanyakan dari mereka memiliki semangat tinggi tetapi kurang informasi tentang beasiswa dan jalur pendidikan. Maka saya membantu mereka secara online memberikan bimbingan, motivasi, dan mendampingi proses pendaftaran. Saya tahu bagaimana rasanya bingung sendirian tanpa ada yang membimbing. Maka saya ingin menjadi orang yang saya sendiri dulu butuhkan. Dan syukur kepada Tuhan, banyak dari mereka akhirnya diterima di kampus negeri dan swasta lewat jalur beasiswa.
Yang paling mengharukan adalah ketika saya pun akhirnya mendapat beasiswa untuk studi S3 saya sendiri. Saat itu saya sadar, Tuhan tidak pernah tinggal diam. Ia melihat semua proses, semua keringat, semua langkah kecil yang disertai ketulusan. Dan pada waktunya, Ia menjawab. Bukan hanya dengan berkat materi, tapi juga dengan damai dan keyakinan bahwa setiap perjuangan tidak sia-sia.
Baca Informasi Lain di bawah ini