Terang di Lorong Gelap: Jejak Cinta Santa Teresa
Wihelmina Mun
7/10/20252 min read


Terang di Lorong Gelap
Jejak Cinta Santa Teresa
Ada satu kisah yang tak pernah gagal menyentuh hati saya setiap kali membacanya: kisah tentang Santa Teresa dari Kalkuta. Ia bukan berasal dari keluarga terpandang, tidak memiliki harta yang melimpah, dan hidupnya tidak dikelilingi kemewahan. Namun dari dirinya terpancar kekayaan yang tak bisa dihitung dengan materi—yakni kasih yang murni, kasih yang diberikan secara cuma-cuma. Santa Teresa hidup sebagai biarawati biasa, mengajar di sebuah sekolah di India. Tapi segalanya berubah saat ia berjalan melewati lorong-lorong kumuh di Kalkuta dan melihat begitu banyak orang yang terabaikan. Tubuh-tubuh kurus tergeletak di jalanan, yang sekarat bukan hanya karena sakit, tapi juga karena tidak dicintai, karena tidak dianggap manusia. Di sanalah, dalam penderitaan orang lain, ia mendengar suara Tuhan berkata: “Aku haus.” Dan Teresa memahami, Tuhan sedang haus akan kasih, haus akan kehadiran manusia yang mau peduli.
Dari saat itu, ia menyerahkan hidupnya bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada mereka yang dunia tolak. Ia berhenti mengajar dan mulai menyusuri gang-gang kecil, membersihkan luka orang yang bahkan tidak tahu lagi caranya berharap. Ia membopong tubuh sekarat dari pinggir jalan, hanya supaya orang itu bisa meninggal dalam pelukan, bukan dalam kehampaan. Ia tidak memiliki apa-apa, tapi terus memberi. Ia tidak tahu siapa yang akan ia tolong hari ini, tapi setiap pagi ia bangun dan berdoa: “Tuhan, kirimkan padaku seseorang yang paling membutuhkan kasih hari ini.” Yang membuat saya terdiam adalah: ia tidak pernah menuntut balasan. Bahkan ketika dunia mulai mengenalnya, memberinya penghargaan, dan menyanjungnya dengan berbagai gelar, ia tetap tinggal dalam kesederhanaannya. Pakaiannya masih kain putih sederhana, makannya seadanya, dan tujuannya tetap sama: mencintai sampai akhir. Ia tahu, semua yang ia miliki—waktu, tenaga, bahkan nafas hidup—bukan miliknya sendiri, melainkan pemberian Tuhan. Dan karena itu ia merasa bertanggung jawab untuk membagikannya.
Kisah ini membuat saya merenung lama. Betapa sering saya menahan kebaikan hanya karena takut tidak dihargai. Betapa sering saya baru mau memberi setelah memastikan orang itu layak. Betapa sering saya membantu sambil diam-diam berharap diingat. Padahal kasih sejati tidak seperti itu. Kasih sejati tidak menunggu timbal balik. Ia mengalir karena tahu: kita sendiri pun hidup karena telah dikasihi terlebih dahulu. Sabda Yesus dalam Injil Matius 10:8 kembali terngiang di benak saya: “Kalian telah memperoleh dengan cuma-cuma, maka berilah pula dengan cuma-cuma.” Kalimat ini terasa sederhana, tapi ketika saya menyandingkannya dengan hidup Santa Teresa, saya sadar ini bukan ajakan biasa. Ini panggilan untuk hidup dalam logika kasih yang berbeda dari dunia. Bukan lagi soal memberi karena mampu, tapi karena mau. Bukan lagi soal menolong yang pantas ditolong, tapi karena hati kita tahu: kebaikan tidak perlu alasan.
Kita memang tidak harus menjadi orang besar untuk mencintai. Kita hanya perlu memulai dari hati yang mau. Mungkin dari satu senyum yang tulus. Satu telinga yang mendengar. Satu waktu yang diberikan untuk hadir, bukan sekadar lewat. Karena kasih itu tidak dinilai dari seberapa besar bentuknya, tapi dari seberapa murni niatnya. Santa Teresa tidak mengubah dunia dengan kekuatan, tapi dengan kelembutan. Ia tidak mengubah orang dengan paksaan, tapi dengan pelukan. Ia tidak mencatat semua yang ia beri, karena yang ia kejar bukan penghargaan, melainkan keselamatan jiwa jiwa mereka, dan jiwanya sendiri. Dan kini, dalam dunia yang serba hitung-hitungan, mungkin kita perlu lebih banyak belajar dari orang seperti dia. Belajar untuk memberi, bukan karena orang itu layak, tapi karena kita sudah lebih dulu menerima. Belajar untuk mencintai, bukan karena akan dibalas, tapi karena Tuhan telah lebih dulu mencintai kita dengan kasih yang tak bersyarat, Karena pada akhirnya, kehidupan yang paling berharga bukanlah yang penuh pencapaian, tapi yang penuh pengorbanan. Bukan tentang berapa banyak kita miliki, tapi berapa banyak yang kita rela lepaskan demi kasih. Dan itulah yang membuat hidup kita, seperti hidup Santa Teresa, menjadi terang bagi dunia yang gelap: kasih yang diberikan... secara cuma-cuma.


Untuk Informasi Lain Bisa Baca dibawah Ini







